Gandrung Ijen, it’s fun, Bro.

Mohamad Cholidanggota Institut Peradaban (the Indonesian Institute of Civilization Studies)

Satu kata yang pas untuk kejadian sore itu adalah amazing. Pertengahan Februari, sebagaimana terjadi di sisi berbeda kota Banyuwangi dan kota-kota Jawa Timur lainnya, hujan turun sesuai kehendak Pemilik Alam Semesta.

Namun di Taman Gandrung Terakota, teater terbuka di lahan Jiwa Jawa Resort Ijen, belasan penari di tengah kemeriahan musik pengiring — terdiri dari gendang, saron, gong, serta biola dan lainnya — tetap bertahan fokus pada tarian mereka saat hujan kecil membahasahi baju. Layar kain putih di tengah panggung yang basah menampilan bayangan orang-orang bergerak, memicu imajinasi terserah penonton. Mengagumkan. Sementara itu para penonton berpayung dan mengenakan jas hujan plastik yang disediakan penyelenggara.

Event sore yang tetap hangat dibawah hujan di kawasan berbukit itu adalah penampilan Meras Gandrung oleh Sanggar Sayu Gringsing Laraswangi. Seni Netra Indonesia menjadi pengagas dan pelaksana untuk pertunjukan rutin tiap bulan tersebut, dengan pendanaan dari Indonesiana dan LPDP, Kementerian Kebudayaan Indonesia, dan dukungan fasilitas Jiwa Jawa Resort.

Meras Gandrung adalah penampilan suatu repertoar untuk wisuda atau pendadaran para penari Gandrung, dari taraf pembelajar di sanggar atau sekolah tari masing-masing kemudian lulus untuk menjadi penari professional. Tiap bulan kelompok penari yang tampil di Taman Gandrung Terakota itu berasal dari sanggar atau sekolah yang berbeda, wilayah administrasi (kecamatan/desa) yang tidak sama, melalui seleksi tim Seni Netra. Nama program ini adalah Transformasi Gandrung dari Pelatihan ke Panggung Pertunjukan.

Tari Gandrung sudah sejak lebih dari seratus tahun menjadi nafas dalam olah budaya masyarakat Banyuwangi. Di bawah tekanan hidup masa penjajahan Belanda, tarian ini jadi hiburan penting untuk merawat keindahan kolektif, mengendorkan otot-otot yang lelah usai membabat hutan atau mengolah lahan pertanian.

Komunitas masyarakat Osing berhasil menjaga keberlangsungan Gandrung.  Belakangan, tarian ini juga digandrungi komunitas lain di Banyuwangi. Sebagaimana umumnya ekspresi seni yang tumbuh di tengah rakyat, Gandrung sangat menghibur dan banyak fun-nya, diselingi improvisasi di sana-sini – beda dengan tarian klasik di kraton yang pola geraknya tertata sangat ketat.

Kesetiaan Gandrung untuk menebar rasa senang itu mengingatkan cerita Pak Wowok Meirianto, pensiunan Chevron yang kemudian pulang kampung mengembangkan Waroeng Kemarang, bisnis kuliner dan villa, di Wonosari, Kecamatan Glagah, bagian dari wilayah komunitas Osing – sekitar tujuh kilometer dari pusat kota agak nanjak on the way ke Ijen.  

Kata Pak Wowok, waktu kecil ketika mau disunat dia minta orang tuanya agar memanggungkan Gandrung. “Kalau nggak ada Gandrung, aku nggak mau disunat,” katanya sembari terkekeh. Di Waroeng Kemarang tiap Sabtu malam ada pertunjukan Gandrung sampai jam 22.00.  Sore itu, di Taman Gandrung Terakota Jiwa Jawa Ijen, di tengah sedikit gerimis dan udara mulai dingin, semua penonton bertahan sampai akhir. Ada rombongan dari Jakarta, ada sejumlah wisatawan asing dengan kamera video profesional. Usai pertunjukan, para penari berinteraksi dengan penonton, menari bersama setelah penari melempar sampur (selendang) ke tamu. It’s really fun, Bro.

Gandrung sudah menjadi icon Banyuwangi. Setiap tahun pemerintah daerah menyelenggarakan semacam festival, disebut Gandrung Sewu, di pantai timur Banyuwangi. Seribu penari yang lolos seleksi mewakili seluruh kecamatan unjuk kepiawaian masing-masing. Event kolosal ini sudah waktunya bisa jadi penyedot wisatawan lebih banyak datang ke Banyuwangi, kalau pelancong antar negara di Bali tinggal nyeberang selat.

Peran Seni Netra, sebagai organisasi nirlaba yang istiqomah berniat mengangkat harkat seni pertunjukan dan visual daerah yang “non kraton”, menjadi penting. Selayaknya para pengambil keputusan institusi-institusi di daerah yang mengelola seni budaya lokal dan pariwisata berkolaborasi dengan Seni Netra, untuk benefit para pemangku kepentingan.

Berdasarkan riwayat dari pelbagai sumber, tari Gandrung pada awalnya ditarikan oleh para laki-laki yang berdandan seperti perempuan. Gandrung laki-laki ini makin lama semakin hilang dari Banyuwangi mulai sekitar tahun 1890-an, kemungkinan karena pengaruh ajaran Islam yang melarang laki-laki berdandan seperti perempuan.

Gandrung laki-laki benar-benar lenyap pada 1914, usai penari terakhir laki-laki, yaitu Marsan, meninggal dunia. Kelahiran tari Gandrung diniatkan sebagai hiburan, terutama bagi para pembabat hutan. Selain itu juga untuk mengiringi upacara meminta selamat di wilayah yang oleh warga setempat dipercayai angker dan mereka membutuhkan lahan tersebut untuk membangun kehidupan.

Pada mulanya Gandrung hanya boleh ditarikan oleh keturunan para penari sebelumnya saja. Tapi sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis muda yang bukan keturunan dari trah Gandrung ikut mempelajarinya dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian. Ini membantu  dalam upaya kolektif merawat eksistensinya.

Sejak Desember 2000, Gandrung pun resmi menjadi maskot pariwisata Banyuwangi. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi juga memprakarsai promosi, mementaskannya di beberapa tempat, Jakarta, Surabaya hingga ke luar negeri seperti Hongkong dan Amerika Serikat.

Sore itu, di amphitheatre Jiwa Jawa Resort, penampilan para penari dan pemain musik pengiring berhasil meyakinkan penonton bahwa mereka siap menjadi tim profesional.

Berita disadur dari: https://sorogan.id/2025/03/24/gandrung-ijen-its-fun-bro/2/

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *